Kualitas Diutamakan Dalam Proses Penyusunan Prolegnas
Dalam rencana Program Legislasi Nasional (Prolegnas) perlu ada suatu kriteria yang sempurna, dimana kualitas harus didahulukan. Hal ini agar benturan-benturan dapat dihindari dalam menentukan program-program ke depan.
Hal tersebut disampaikan Anggota Badan Legislasi DPR (Baleg) Rufinus Hotmaulana Hutahuruk kepada Parlementaria usai Rapat Dengar Pendapat Umum Baleg dengan Komisi Hukum Nasional RI (KHN), Komnas HAM, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) guna menjaring masukan terkait Prolegnas 2015-2019.
“Dalam prolegnas perlu ada suatu prioritas agar jangan sampai kita dikejar tayang, tetapi tidak memperoleh target sesuai dengan yang kita inginkan. Makanya kita lebih bagus pada kualitas,” ujar Rufinus di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/11).
Rufinus menyatakan, jika dirinya ditanya bagaimana sebenarnya Undang-Undang yang mendesak. Menurutnya sangat banyak, diantaranya UU KUHAP. Ia menilai UU KUHAP tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, karena UU KUHAP sendiri bermasalah.
Dijelaskan politisi dari Fraksi Hanura ini, bahwa dalam UU KUHAP ada diskresi yang diberikan kepada penyidik yang tidak ada SOPnya. Sehingga polisi bisa sewenang-wenang bahkan transaksional mungkin didalam membuat proses suatu berita acara pada yang disangkakan.
Apa yang terjadi kemudian, ditegaskan Rufinas, bahwa ini bisa berakibat fatal secara hukum. Karena sebenarnya penyidikan itu ditujukan untuk membuat terang masalah. “Itu inti dari penyelidikan, untuk membuat terang masalah,” tukasnya.
“Jadi tidak berpikir, bagaimana suatu proses ini bisa ke Pengadilan atau Kejaksaan, ini contoh. Begitu pula dalam KUHAP,” imbuh Rufinus.
Selanjutnya Rufinus menjelaskan, ada juga UU yang didorong sedemikian rupa tetapi sudah menimbulkan persoalan, seperti UU Advokad.
“Kita tahu UU Advokad ini didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu sampai timbul benturan-benturan bahkan fisik,” ungkapnya.
Ia mengaku, dalam forum RDPU Baleg tersebut, ada yang mendorong UU Advokad. Padahal UU ini sudah diuji di Mahkamah Konstitusi sampai tiga kali dan ditolak. (sc)/foto:iwan armanias/parle/iw.